Imperialisme Kultural Trans-Nasional


1900RepublicanPoster703Salah satu kajian penting dalam Komunikasi Trans-Nasional, Imperialisme Kultural merupakan teori potensial yang menarik diulas dan tak lapuk termakan waktu. Untuk pertama kalinya teori Imperialisme Kultural dipopulerkan oleh Herb Schiller (1973). Teori ini mengurai bagaimana masyarakat dunia diterpa oleh ekspansi besar-besaran budaya kesenangan (pop-culture), budaya yang diproduksi secara massal dan instan oleh hegemoni Hollywood (presentasi dunia barat).

Merujuk pada buah pikir Schiller yang berjudul Communication and Cultural Domination (1990). Teori imperialisme budaya meyakini bahwa kebudayaan tidak lahir begitu saja di tengah-tengah masyarakat, budaya tersebar ke seluruh penjuru dunia melalui propaganda besar dan ekspansif, budaya juga berevolusi melalui imperialisasi. Sama seperti kekuasaan atas tanah dan hegemoni politik dunia, di mana tujuan utama dari imperialisasi budaya adalah penjajahan di ruang ideologis pragmatis.

Melacak argumentasi Schiller tersebut, berarti kita juga harus mengarungi tafsir literal yang menyatakan bahwa budaya disebarkan melalui media massa. Media menjadi alat propaganda secara supra-struktural yang tak pernah ada penentangnya. Kekuatan media, merujuk pada teori cultivation theory tidak dapat ditahan dengan mudah. Ketika media secara terus-menerus memberikan informasi kultural, maka khalayak akan mengikuti secara perlahan dan masuk dalam perangkap propaganda media itu sendiri.

Ini berarti pula, mendukung argumentasi bahwa ada kesengajaan yang dibangun demi sebuah imperialisme kultural, di mana media massa Barat yang juga mendominasi media massa di dunia dengan mudah melakukan penjajahan kultural. Terlebih, negara-negara yang berkiblat pada Barat, dunia ketiga misalnya, menginduk informasi dari Barat. Apa pasal? Media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Kondisi demikianlah yang kemudian menjadikan budaya barat terimperialkan ke penjuru dunia manapun.

Kembali pada platform teori, perspektif teori imperialisme kultural menjelaskan bahwa kultur negara-negara berkembang, cenderung menyenangi peniruan budaya yang diproduksi oleh negara-negara barat. Barangkali argumentasi ini pula yang melahirkan beberapa trend di ranah Fashion, Food, Fun, Facility dan Fantasy (5’s F). Imperialisme kultural memungkinkan terjadinya proses adaptif, mengimitasi budaya yang bersumber dari media massa negara maju. Dan ketika kondisi tersebut berjalan, maka saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di negara berkembang, kehancuran ini yang disebut sebagai dampak imperialisme budaya negara maju.

Kata kunci lainnya, kebudayaan Barat memproduksi hampir semua materi imperialisme kultural untuk mayoritas media massa di dunia. Sebut saja bagaimana produktifnya Hollywood, Disney, Marvell. Dominasi tersebut sangat mungkin dilakukan karena Barat memiliki kuasa, kuasa material (financial) adalah satu di antara banyaknya alasan. Dengan kekuatan financial yang memadai, dunia Barat berbuat apa saja untuk memproduksi beragam kebutuhan hiburan di seluruh penjuru dunia. Lalu, kuasa kedua mereka adalah terpenuhinya teknologi. Dengan teknologi yang mereka miliki dan terus berkembang hingga saat ini, memungkinkan adanya produk yang mutakhir dan sangat disenangi.

Secara umum, imperialisme kultural bermula dari hegemoni media massa dunia. Dengan jalan media inilah kebudayaan kesenangan menghambur ke seluruh remaja dan dewasa penduduk bumi. Dengan demikian, kebudayaan yang lama mengakar sebagai kearifan lokal, hilang tertelan dengan banjirnya budaya baru, agitatif dan penuh kesenangan yang ditawarkan dunia Barat. Untuk itu, menjadi tanggungjawab kita semua, satu cara menolak imperialisme budaya adalah dengan penguatan Komunitarianisme. Memahami konsep kekitaan dalam ruang sektarian (kebangsaan), sehingga segala bentuk propaganda Barat tidak sertamerta mempengaruhi.[]


16 responses to “Imperialisme Kultural Trans-Nasional”

Leave a Reply