Islam dan Politik Identitas


Politik Identitas merujuk pada pilihan politik yang dominasi argumentasinya adalah satu identitas
Politik Identitas merujuk pada pilihan politik yang dominasi argumentasinya adalah satu identitas (sumber: unknown)

Indonesia, dengan jumlah penduduk beragam, berbagai etnis, agama, suku dan budaya memungkinkan terjadinya konflik. Konflik yang terjadi tidak akan jauh-jauh dari wilayah kekerasan atas nama agama, nuansa etnis, bahkan sensitifitas budaya, atau sejenisnya. Konflik-konflik yang terjadi sejatinya merupakan persoalan kompleks yang melibatkan berbagai dimensi kehidupan. Secara teori, konflik adalah anak tangga pertama yang dilalui untuk sebuah perubahan sosial, perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.

Dalam tataran realitas, konflik di berbagai daerah dan kawasan di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Meskipun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa sampai batas-batas tertentu konflik kekerasan Agama, sektarianistik dan etnik mempunyai keterkaitan ironik dengan eforia globalisasi dan transformasi institusional.

Globalisasi sebagai upaya mewujudkan desa dunia (the global village) dengan masyarakat yang mencerminkan kesederajatan dan kebersamaan (pluralism) masih bersifat angan-angan. Yang terjadi kini, globalisasi lebih menonjolkan identitas diri sebagai ajang pertarungan antara yang kuat dan yang lemah, yang mayoritas dan minoritas, yang menganggap benar dan tidak. Ironisnya, kelompok yang minoritas terus menjadi korban dan belum menikmati keuntungan signifikan dari proyek modernitas ini. Indonesia adalah Negara dengan catatan demokrasi sejak kelahirannya, akan tetapi beberapa kelompok belum menikmati itu secara demokratis.

Karena itu keberagamaan harus dipahami sebagai upaya manusia untuk mendekati yang absolut, dan metahistoris yang sampai kapan pun nilai kebenarannya tidak mungkin menyamai kebenaran Tuhan. Oleh karenanya, keberagamaan yang berpijak pada ke-Tuhanan transformatif selalu bersifat open minded, dinamis, dan mengepankan kerendah-hatian. Dengan demikian, hal itu akan menghindarkan one-sided truth claim yang angkuh, claim yang selama ini kita dengar sebagai pembenaran atas tindakan anarkis kelompok pembela Agama (Islam-pen) dan sekaligus dapat mengembangkan keimanan yang kokoh yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap dan perilaku yang civilized sebagai cerminan dari ajaran perennial agama.

Banyak hal penting dan sensitive yang tidak dipahami secara mendalam oleh aliansi massa yang menamakan diri sebagai pembela Islam. Teriakan identitas ke-Islaman yang mereka banggakan justru sebagai teriakan bahwa Islam adalah kejam, bengis, diskriminatif sosial dan masih banyak lagi label negative lainnya. Bayangkan saja, sejak kelahiran para kelompok pembela Islam belum satupun catatan bersifat positif, setidaknya itu yang penulis catat.

 

Teori Perubahan

Meminjam teori broken windows, sebuah teori perubahan yang telah terbukti ampuh sebagai jalur damai, mumpuni dan tangguh dalam mencegah bahkan merubah suatu endemi negative menjadi positive act. James Q. Wilson dan George Kelling adalah peletak batu pertama teori broken windows. Wilson dan Kelling berpendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat tak terelakkan dari ketidakteraturan. Jika sebuah jendela rumah pecah dan dibiarkan saja, siapapun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di situ tidak ada yang peduli atau bahwa rumah itu tidak berpenghuni. Dalam waktu singkat akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu (Malcolm Gladwell, The tipping Point. 2003).

            Bagaimana dengan Indonesia, penulis mencoba memulai dengan ide dasar mengurangi data kerusuhan, kekerasan dan diskrimansi lain atas nama Islam. Pertama, diperlukan adanya keseriusan para penegak hukum negeri ini untuk memulai dan menindak secara tegas pelaku kekerasan, tindakan tersebut harus langsung kepada pelaku, bukan pimpinan kelompok atau ketua aliansi kelompok pembuat kerusakan. Kedua, tidak adanya kekuasaan pimpinan atau ketua suatu aliansi pembuat kerusuhan untuk membela pelaku kerusuhan. Ketiga, tindakan yang terus menerus secara berkelanjutan, tidak hanya ketika ada kerusuhan secara missal.

            Ketiga poin di atas adalah ide sederhana dari penerapan teori broken windows, Indonesia adalah Negara dengan mayoritas penduduk pemeluk agama Islam. Ironis, karena Indonesia juga Negara dengan konflik antar agama paling sering. Dan pemecah kerusuhan adalah mereka yang mengaku Pembela Islam. Tulisan ini adalah reaksi dari banyaknya catatan anarki yang dilakukan oleh organisasi Islam, sebagai seorang Muslim, penulis merasa namabaik penulis tercemar oleh mereka. Yang paling menyedihkan adalah, organisasi tersebut di pimpin oleh seorang yang di anggap sebagai ulama (oleh pengikutnya).


Leave a Reply