Meninjau Ulang Desentralisasi


Desentralisasi adalah upaya untuk kemandirian Daerah, hanya saja rawan penyalahgunaan dan melahirkan raja-raja kecil politik lokal.
Desentralisasi adalah upaya untuk kemandirian Daerah, hanya saja rawan penyalahgunaan dan melahirkan raja-raja kecil politik lokal.

Demokrasi, jalur utama yang saat ini digadangkan sebagai pilar terbaik dalam bernegara telah tergugat oleh lemahnya pengawasan dan ketahanan keamanan bernegara. Kemunculan aksi teror bom menyeruak dan menghenyak seluruh penjuru wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Prosesi kesatuan yang terbingkai dalam konsep bhineka tunggal ika bermakna sarat penggalangan kesatuan dan persatuan tidak cukup mampu meneguhkan konsep kesatuan yang saling erat berkaitan dengan pembangunan Negara.

Apa pasal, Indonesia dengan bentangan wilayah dari Sabang sampai Merauke (tanpa Timor Leste) menjadikan Negara gemah ripah loh jinaweh ini bergelar Negara terbesar baik secara kewilayahan maupun Demokrasi, tentu setelah Amerika Serikat sebagai pemegang gelar Bapak Demokrasi. Bukan perkara mudah menyatukan perbedaan yang begitu subur di Negara besar, keraguan akan arah kemajuan Bangsa ini semakin mengucur deras, berbagai persoalan muncul hampir memenuhi ruang publik, teror, kemiskinan, korupsi yang menggurita hingga konspirasi di beberapa lini hukum dan pemerintahan.

Desentralisasi: Representasi Konsep Federal

Desentralisasi, atau pemusatan pemerintahan daerah (local autonomy) digulirkan dengan niatan percepatan pembangunan terjadi dengan kebebasan daerah. Namun lacur, kondisi yang dinanti tak kunjung datang bahkan disinyalir tidak akan datang. April ini, tepat 109 tahun telah dimulai penyelenggaraan konsep desentralisasi, bukan waktu yang singkat sejak dimulainya pada tahun 1903 yang diprakarsai oleh Hindia Belanda dengan istilah decentralization wet. Lebih dari 12 tahun setelah reformasi bergulir, kondisi yang sama masih terasa yakni kenihilan hasil desentralisasi.

Hingga kini, asas yang diusung dalam pemerintahan tersebut tak jua membuahkan hasil. Sebagai sistem alternatif, konsep desentralisasi selayaknya menjadi bagian penting dalam percepatan pembangunan nasional. Istilah lainnya, desentralisasi tidak lebih dari penerapan konsep negara federal yang dianut oleh beberapa Negara tetangga semisal Malaysia. Untuk memenuhi acuan pembangunan tentu saja memerlukan penguraian secara lebih rinci dan mendalam. Dalam catatan Piliang (2001:315) mengemukakan landasan filosofisnya adalah masing-masing negara bagian (baca: Daerah) digunakan sebagai saluran untuk menampung aspirasi kebangsaan yang berlandaskan persoalan-persoalan etnis, daerah dan keunikan lokal (kearifan daerah/lokal).

Asumsi lebih lanjut, untuk memulai peralihan sistem bernegara menjadi sistem federasi tidak perlu melakukan pembubaran terlebih dahulu terhadap sistem yang telah berjalan (NKRI) di Indonesia, melainkan cukup diambil keputusan dalam referendum nasional atau melalui persidangan MPR/DPR mengingat sistem MPR/DPR yang kita kenal sekarang ini memiliki kewenangan dalam pembahasannya.

Budiarjo (1989:142) mengutip dari C.F Strong dalam pembentukan Negara federal diperlukan dua syarat utama. Pertama, adanya kesadaran penuh terhadap pentingnya bersatu dalam perasaan sebangsa di antara kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk sebuah sistem federasi. Kedua, lahirnya keinginan pada kesatuan-kesatuan politik yang hendak mengadakan federasi untuk mengadakan ikatan terbatas, oleh karena apabila kesatuan-kesatuan politik itu menghendaki persatuan sepenuhnya, maka bukan federasi yang dibentuk melainkan negara kesatuan.

Dengan demikian, konsep desentralisasi jika aplikasikan secara konkret maka tidak ada persoalan lebh lanjut. Permasalahan muncul karena konteks desentralisasi banyak yang terabaikan secara sengaja. Seyogyanya, pemerintah daerah (pemda) sebagai pelaku pembangunan yang bertanggung jawab penuh terhadap proses penguatan pembangunan Negara, sedang pemerintah nasional hanya melakukan pengarahan yang lebih bersifat administratif bukan by project. Yang terjadi di Indonesia kini adalah semua poyek pembangunan berpusat di pemerintahan pusat sehingga desentralisasi menjadi anti klimaks.

Pada dasarnya Indonesia mempertahankan bentuk NKRI bercorak federal (sense of federalism), Tiga pertimbangan yang memperkuat sistem tersebut adalah: Pertama, Memberikan otonomi sepenuhnya terhadap pemerintah daerah, dalam kaitan ini distribusi kekuasaan dan pendapatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilakukan secara adil, sementara pemberian otonomi lebih dititikberatkan pada daerah kabupaten/kota daripada propinsi, dan peran propinsi lebih bersifat koordinator. Kedua, Pembagian wilayah lebih mudah diimplementasikan karena pembagian wilayah sedikit banyak telah tuntas. Dan juga pembagian menjadi lebih jelas pembagiannya. Ketiga, wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan rapuh terhadap upaya-upaya pemberontakan (separatism) yang terjadi dari dalam dan rentan terhadap serangan dari luar.

Eksistensi federasi yang paling terlihat secara kasat mata adalah pemilihan langsung (oleh konstituen/rakyat) kepala daerah secara langsung, prosesi pemilihan oleh rakyat secara langsung adlah konsep yang dianut oleh sistem federal. Indonesia, tidak menggunakan sistem federal namun menggunakan konsepnya. Bahkan, telah jelas tertulis dan wajib hafal bagi siswa/i pada sekolah dasar mengenai hal tersebut, yakni tertuang dalam sila keempat pancasila yang berbunyi “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permu-syawaratan/Perwakilan”.

 

Koreksi UU Desentralisasi

Perbincangan percepatan pembangunan melalui konsep desentralisasi tidak akan lepas dari telaah kritis terhadap UU yang mengaturnya. Pelaksanaan pemerintah daerah sejak bergulirnya reformasi tidak menunjukan pergeseran progress. Dalam catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) diketahui, terdapat beberapa daerah yang mengalami kebangkrutan karena sumber pendanaan yang berasal dari APBD tidak mampu untuk membiayai pembangunan daerahya sendiri (Republika, 26/4).

UU nomor 32 tahun 2004 sebagai Undang-undang yang menaungi persoalan daerah patut dipertanyakan ulang, tepatnya layak untuk revisi. Selain harus mengikti pergolakan kekinian, UU tersebut tidak lagi cukup untuk mewakili kondisi yang sedang berjalan. Setidaknya cukup melegakan karena revisi UU 32/2004 telah terdaftar dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2011. Dengan demikian, harapan penting untuk menuai desentralisasi yang berkualitas dapat tercapai dengan perubahan yang ada dalam UU revisi nantinya. Persoalan yang terjadi tidak terlalu banyak jika semua bersinergi dengan baik. Semua elemen yang dimaksud adalah penyelenggara pemerintahan daerah dan pusat. Setidaknya, Undang-undang hanyalah kesepakatan tertulis yang pada akhirnya karakter penggunannya sebagai penentu.[]


Leave a Reply