TVRI, Nasibmu Kini?


korupsi-300x277Setiap dilontarkan sebuah pertanyaan tentang televisi apa yang sering ditonton, atau pertanyaan untuk menyebut nama sebuah channel televisi, TVRI nyaris tak pernah tersebut. Sebagian kalangan akan memaklumi jika usia manusia semakin tua akan semakin lemah, tapi apakah bisa mendapatkan istilah maklum ketika suatu institusi seperti televisi yang telah cukup lama malang melintang dan akhirnya terpuruk, dapat dipastikan ada yang salah.

Terhitung sejak 15 April 2003, TVRI resmi menjadi perseroan (Sinar Harapan, 16/04/03). Penandatanganan akte pendirian  dan anggaran dasar PT TVRI ini mempertegas PP No. 9 tahun 2000 yang hakekatnya merupakan ijin prinsip mengenai pengalihan status dari Perusahaan Jawatan ke Perseroan Terbatas.

Membincang eksistensi TVRI tidak akan jauh pembahasannya dengan berbagai perubahan status hukum yang terjadi selama stasiun penyiaran ini berdiri. Tiga periodisasi status hukum, pertama era 1962 hingga 1975. TVRI yang  terlahir secara formal 24 Agustus 1962, ditetapkan badan hukumnya sebagai Yayasan melalui Kepres RI Nomor 215/1963 pada 20 Oktober 1963. Dalam SK tersebut, terutama pasal 4 dan pasal 5 jelas-jelas disebutkan bahwa keberadaan TVRI ditunjukan sebagai alat hubungan masyarakat (mass-communication media).

Periode ke dua, status hukum era 1975 hingga 1999. TVRI mulai memasuki status hukum ganda. Disamping yayasan, juga ditetapkan sebagai Unit Pelaksana Teknis  Departemen Penerangan dengan terbitnya SK Menpen No 55B/1975 yang kemudian diperbaharui dengan SK Menpen No 230A /1984  tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Penerangan.

Pada dua periode status hukum ini, yang dominan memanfaatkan TVRI adalah negara. Akses publik ke TVRI sangat minim, sementara kontrol negara begitu powerfull.  TVRI dijadikan ideological state apparatus demi kepentingan pemeliharaan dan reproduksi struktur politik otoritarian yang telah dibangun.  Tujuannya sangat jelas, memelihara power guna mengamankan “stabilitas” dan “kebudayaan nasional” yang selaras dengan mainstream berpikir dan bertindak yang ditasbihkan Orde Baru sebagai realitas objektif yang legitim.

Periode ke tiga, status hukum era reformasi. Setelah beberapa waktu statusnya mengambang seiring dengan dilikuidasinya Depen, berdasarkan SK Presiden  RI No. 335/M/1999 tentang pembentukan kabinet Persatuan Nasional. TVRI kembali mendapatkan kejelasan status hukum dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 36/2000 tentang Perusahaan Jawatan TVRI.

Entah apa yang menjadikan TVRI seolah sulit bergerak maju, ide perubahan status menjadi televisi tak kunjung terpenuhi, meski isu demikian telah hadir sejak enam tahun silam. Komersialisasi TVRI dengan dalih “supaya bisa bersaing dengan TV swasta lainnya” sebenarnya beranjak dari pemahaman dikotomis : kalau TVRI bukan media organik negara berarti  milik swasta yang tunduk kepada hukum pasar. Dengan demikian deregulasi hakekatnya hanya menghapus semaksimal mungkin state regulation (regulasi oleh negara) untuk digantikan oleh market regulation (regulasi melalui mekanisme pasar). Dari satu sisi, memang TVRI menjadi semakin bebas dari kontrol dan intervensi pemerintah. Namun disisi lain rentan terhadap represi rejim kapital atau market dictatorship.

Setidaknya, ada hal lain yang menenangkan dalam tubuh TVRI. Bayangkan saja, tidak satupun materi siaran TVRI berbau negative, pemberitaan kriminal, diskriminasi golongan dan jauh dari asumsi persaingan. Imbasnya, TVRI jalan semaunya, terserah sampai tujuan berapa lama yang penting berjalan. Dan pegawai tidak berkurang tidak juga bertambah. Sumber Daya Manusia yang telah menopause ide tak diperhatikan gantinya.

Dengan latar kondisi demikian, sangat dimungkinkan bagi TVRI untuk melakukan pencarian dana (fund raising) mandiri karena subsidi pemerintah tidak lagi mendukung suatu program menarik dengan alas an biaya mahal, tidak heran jika program yang ditayangkan TVRI seolah sebuah program pribadi bagi yang mampu memesan.


Leave a Reply