Libidonomic Media


11011934_10200377222030885_6320501845323007415_nPekan-pekan terakhir, bangsa gemah ripah loh jinawe Indonesia dirundung kesedihan, sedih karena bencana seolah takberjeda panjang, sedih karena bencana juga diciptakan. Media, adalah mesin produksi kesedihan, juga sesekali kebahagiaa semu. Kemasan jurnalisme di media –semisal—dalam menyuguhkan informasi terkait kegagalan Air Asia QZ8501, media seolah menambah nilai berita menjadi drama penuh kepedihan. Tentu, bagi dunia akademik, terutamanya ranah Media Studies, hal tersebut dimaafkan cenderung normal.

Libidonomic media, adalah antitesis dari fungsi media massa sebagai medium untuk mendidik (to educate function), Indonesia dengan keberagaman telah sampai pada fase kritis moral, terutama terbukanya ruang pornografi secara realtime, juga rasisme. Di mana media massa mencengkeram kuat nilai moral anak bangsa melaui tayangan anti-produktif.

Dalam koridor politik, libidonomic memiliki kepentingan ekonomi yang kental tanpa asupan moralitas produksi. Dua hal utama yang menciptakan libidonomic media, yakni: konglomerasi dan rasisme media, keduanya merupakan kajian klasik yang menarik untuk diulas kembali, setidaknya sebagai upaya memahamkan pada awam, bahwa media tidak sertamerta sehat untuk dikonsumsi, memerlukan saringan sebelum dicerna.

Konsep rasisme media memandang media massa sebagai medan perang ideologi, di dalamnya terjadi pertentangan kelas antara ruling class (elit) dan subordinat class (konsumen). Kekacauan inilah yang melahirkan rasis ideologi media. Konglomerasi dalam pendapat singkat ini, dijelaskan sebagai puncak kekacauan itu, konglomerasi adalah tindakaan kooptasi media di segala ruang. Di mana elitis penguasa media memaksa subordinat class menerima konten media yang sarat kepentingan ruling class.

Meminjam pemahaman dari Stuart Hall (1932) melalui tulisannya yang tajam berjudul The Whites Of Their Eyes; Racist Ideologies and the Media. Ia mengungkapkan analisis dari praktek media berdasarkan perspektif dari teori kulturalis Marx, yakni dengan mengungkapkan otonomi media massa dan mengganti konsep Hegemoni Gramsci serta Althusser yang memandang media sebagai ideological state apparatus (Woollacott 1982: 110).

Secara politis, tulisan ini berupaya membedah anggapan bahwa media massa, membawa dampak buruk bagi publik. Terutama impact moralitas bagi publik itu sendiri.

Konglomerasi

Membincang Media Politik, secara kasat mata media terkooptasi, seolah wibawa “media publik” runtuh seruntuh-runtuhnya oleh segelintir orang penguasa media. Dengan hegemony yang mendominasi, maka konten media turut serta mengikuti alur ekonomi penguasa kapital. Dengan konsep konglomerasi, maka relasi ekonomi lebih powerfull dibanding dengan relasi informasi bagi publik.

Libidonomic, merupakan refleksi dari kehausan kapital aka pundi-pundi keuntungan finansal yang didapat dari produksi teks media. Asumsi ini memulai tesis adanya program yang lebih menonjolkan sisi vulgarisme, rasis, dan juga doktrin hedonisme. Media, dengan pola ekonomi politik semacam itu cukup mengkhawatirkan. Terutama bagi generasi bias informatif.

Awam menilai konglomerasi media merupakan preseden buruk bagi iklim demokrasi. Opini dikuasai oleh sedikit elit yang kemudian menjadi representasi publik. Tentu ini bukan hal baik, bagaimanapun publik punya hak untuk terlindungi dari keterpengaruhan opini elitis melalui media yang dikuasai. Konglomerasi, akan membiaskan perlindungan tersebut.

Media sangat kental sebagai perpanjangan tangan kepentingan pemiliknya. Sehingga berita-berita yang diproduksi lebih sering bermuatan kepentingan politik pemilik. Baik itu politik untuk kekuasaan, maupun politik untuk ekonomi. Tentu ini merupakan persoalan rumit, karena media yang seharusnya berada pada ranah publik terdistorsi oleh ownership.

Ada yang menarik, pada masa Orde Baru berkuasa, dengan kesigapan sensor yang begitu luarbiasa membuat media massa tunduk pada regulasi dan kepentingan kekuasaan. Sehingga kontrol pemerintah masih dapat bertahan dan menguntungkan bagi generasi bangsa. Pemilik media takmampu berkutik. Apakah hal tersebut merupakan indikasi kebaikan pers? Tidak juga, karena kepentingan beralih pada penguasa.

Transformasi Orde Baru ke era Reformasi kemudian mempengaruhi secara drastis iklim politik Indonesia, tentu berimbas pada persoalan konten media. Hilangnya sensor yang mendominasi, membangun kebebasa yang tidak terbatas pada tayangan-tayangan media. Salah satunya adalah booming-nya praktik libidonomic di media massa. Peletakan dasar isunya adalah wajah diktator kepemilikan serta kekuatan ekonomi yang sama sekali berubah.

Dengan demikian, media menjadi satu-satunya perantara paling mutakhir yang menjadi tujuan utama, untuk apa? Tentu membangun citra dan popularitas serta menjaga kekuasaan. Sebagai dampaknya, independensi media secara permasif membiaskan ruang publik.

Implikasi mendasar dari politisasi media massa, dapat dilihat dari suguhan dan tayangan media itu sendiri, khalayak sebagai publik atau konsumen media disuguhi informasi yang jauh dari nilai informatif, hiburan yang takmenghibur, narasi deskriptif yang takpula mendidik. Ambil satu contoh sederhana dari pemberitaan media massa yang dikuasai oleh politik. Berita yang dikemas merupakan manipulasi citra sarat dengan kepentingan politis.


One response to “Libidonomic Media”

  1. In these days of austerity as well as relative panic about running into debt, many people balk against the idea of using a credit card to make acquisition of merchandise or perhaps pay for any gift giving occasion, preferring, instead to rely on this tried as well as trusted technique of making repayment – hard cash. However, in case you have the cash on hand to make the purchase completely, then, paradoxically, that is the best time for them to use the card for several causes.

Leave a Reply