HAM: Antara Citra dan Realitas Politik


Chapter saya Komunikasi dan Integritas Politik

Berangkat dari asumsi Jean Baudrillard tentang Hyperreality, setidaknya sejalan dengan realitas politik era industri citra pada hari ini. Iklan politik yang sedang ia gencarkan sebagai standar penciptaan citra telah dimulai sejak pertarungan pemilihan umum (pemilu) tahun 2009. Sebenarnya, pada tahun 2004 sudah terasa, hanya saja memasuki pergolakan hebat pada tahun 2009 atau pemilu kedua yang diselenggarakan secara langsung. Popularitas mecuat, dan elektabilitas turut serta menghasilkan senyum kepuasan. Namun demikian, apa yang terlihat dalam realitas media samasekali berbeda dengan realitas yang sebenarnya. Apakah hal demikian merupakan pembohongan publik? Tidak dapat dikatakan berbohong meskipun hal tersebut sama seperti “tidak mengatakan yang sebenarnya”.

HAM dalam Realitas Citra

Hakikat Hak Azasi Manusia (HAM), sejauh ini dipahami sebagian besar kalangan dengan persepsi perlindungan atas kebebasan hak dan penghormatan terhadap hak individu manusia, lebih detail lagi diungkapkan sebagai penghormatan atas subtansi memanusiakan manusia. Dalam arti yang lain, manusia harus terbebas dari rasa tertindas, terhalang dan terbatasi. Definisi paling klasik juga merunut dalih bahwa HAM merupakan perluasan dari pemenuhan kebebasan yang bersumber dari kehidupan manusia.[1]

Faktanya, HAM hanya berupa benda mati, simbol atau nama tanpa perwujudan yang realistis. Bagaimanapun, Hak hakiki, kesungguhan kebebasan bagi manusia sebagai mahkluk sosial sama sekali tidak terlepas dari kontrol sosial. Untuk itu, dapat disimpulkan secara sederhana dalam tulisan ini bahwa manusia tidak memiliki kebebasan samasekali.

Hemat penulis, sebagai hasil diskusi yang disampaikan oleh Antonio Pradjasto, pemerhati masalah HAM juga pegiat Komisi Nasional-Hak Azasi Manusia (KOMNAS-HAM) terlalu sporadic dan terkesan memaksakan kehendak. Salah satu hal yang ia deskripsikan bahwa manusia memiliki hak mutlak, yakni hak untuk berkeyakinan (Theis). Asumsi tersebut tidak terstruktur, ia bisa saja lupa bahwa hidup dalam naungan Negara tidak dapat berlaku bebas, Negara hanya mengakui beberapa agama dan di luar itu tidak.

Beberapa kasus yang ia contohkan dengan membawa serta dukungan terhadap Negara harus diadili karena melakukan pelanggaran HAM atas polemik referendum Timor Timur. Perlu digarisbawahi, bahwa tugas Negara berkewajiban menjaga keutuhan Negara Kesatuan, kemudian alat pertahana Negara dalam hal ini Tentara Nasional (TNI) berwewenang atas senjata dan perlawanan sparatisme Timor. Jika ini dipahami sebagai pelanggaran HAM, maka pemikiran demikian patut dipertanyakan. Seyogyanya, segala sesuatu yang menjadi kesepakatan bersama, kontrak sosial antara warga dan Negara, kemudian menghasilkan wewenang dan dijalankan maka itu merupakan tugas, bukan pelanggaran.

Sejauh ini, apa yang didengungkan oleh HAM baik Nasional maupun Internasional hanyalah pembangunan reputasi belaka, bukan bersandar pada kinerja subtantif. Realitas pembelaan terhadap ketertindasan kebebasan memungkinkan menjadi pemicu konflik citra bagi kelompok kepentingan (interest group), bisa saja justru ini berada di pihak lembaga pemerhati HAM.

Mengambil satu contoh, propaganda secara emosional yang ditunjukkan dalam iklan politik Prabowo sangat mempengaruhi kobaran semangat juang kesejahteraan rakyat (tentu “rakyat” bukan berarti seluruh warga negara), membawa serta atas nama petani dan nelayan, seolah ia adalah pahlawan yang secara tulus memperjuangkan hak-hak sipil, termasuk hidup dalam kondisi yang aman dan nyaman.

Pada tahap ini, justru Prabowo sedang menelanjangi rakyat dengan kebohongan mendasar, faktanya Prabowo tidak pernah menyentuh kehidupan pertanian Indonesia, bahkan organisasi tani yang ia pimpin merupakan hasil keputusan illegal. Di mana organisasi legalnya berada di bawah pimpinan Oesman Sapta. Iklan, merupakan tindakan hyperrealitas, ia tidak termasuk dalam rincian kebohongan, akan tetapi iklan tidak mengatakan yang sebenarnya. Dan menutupi kebenaran kepada rakyat, merupakan pelangaran HAM subtansial.

HAM dalam Realitas Demokrasi

Secara politis, istilah HAM merujuk pada pembelaan kaum bawah. Antonio Prajasto, dalam presentasinya di Sekolah Demokrasi (9/4) mengurai mengenai Demokrasi berbasis HAM.[2] Paparannya diperjelas dengan mengatakan bahwa Demokrasi sebagai sistem politik harus menghargai dan berpedoman pada HAM. Sederhananya, demokrasi harus mengikuti alur HAM. Disayangkan sekali jika demikian, faktanya Demokrasi berdiri secara independen dan menghasilkan produk yang disebut HAM, seharusnya HAM-lah yang berbasis Demokrasi, bukan sebaliknya.

Penjelasan ini meneguhkan kembali bahwa HAM bukan benda suci yang harus digadang secara sporadic, kebebasan sebagai bentuk pengejawantahan HAM merupakan dinamisasi alur Demokrasi, di Negara yang berbeda akan berbeda pula pemaknaannya. Kebebasan dalam Demokrasi  adalah bebas dari tekanan hidup bernegara, termasuk memiliki hak atas sandang, pangan dan papan yang dipenuhi oleh Negara.[3] Sedang dalam sistem Komunis, kebebasan bermakna bebas dari kontrol kapitalis.

Pertukaran ide ini, penulis mengaku sinis terhadap pandangan aktifis HAM terhadap makna HAM itu sendiri. Seyogyanya HAM dipahami sebagai mediator konflik keadilan yang mendasar, tidak semua hal kemudian dianggap pelanggaran. Kasus klasik, pembunuhan aktifis kemanusiaan Munir, jika benar bahwa Munir membawa informasi rahasia dan dianggap membahayakan Negara, maka pembunuhan atas dirinya bukan sebuah pelanggaran. Justru Munir-lah yang melanggar dengan menghianati Negara. Sebaliknya, jika apa yang dilakukan Munir sebuah kebenaran, maka pelanggaran besar atas pembunuhan tersebut.

[1] Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal. (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 265

[2] Penjelasan lengkap dapat dilihat: Antonio Pradjasto dalam “Demokrasi dan Hak Azasi Manusia”. (Jakarta: KID, 2011), h. 1

[3] Anwar Arifin, Sistem Komunikasi Indonesia. (bandung: Rekatama, 2012), h. 240


Leave a Reply