Komunikasi dan Polarisasi Demokrasi


DediKSPPerumusan khazanah Ilmu Komunikasi membuka ruang lebar bagi masuknya asupan keilmuan sosial lainnya, dengan alasan tersebut Komunikologi atau Ilmu Komunikasi disebut interdisipliner science. Salah satu sajian yang turut membentuk Ilmu Komunikasi adalah Ilmu Politik (Politicology). Sehingga lahirlah kajian yang dikenal dengan Komunikasi Politik, perkembangannya tidak dapat terpisahkan dari alinea kultur demokrasi dan kebebasan informasi.

Demokrasi, secara berturut menghasilkan kebebasan berpendapat (freedom of expression) dan kebebasan pers (freedom of the press), kesemuanya dalam balutan Hak Azasi Manusia (HAM). Demokrasi, dalam rujukan kajian politik disebut sebagai sistem politik dan juga budaya politik suatu Negara. Faktanya, dalam pemaparan singkat ini akan diuraikan beberapa hal yang menyangkut polarisasi konsep Demokrasi dilihat dari sudut pandang Komunikasi. Kesimpulannya, Indonesia tidak melaksanakan secara detail ritme demokrasi.

Sekilas Uraian

Sejarah demokrasi diawali dari pidato Pericles di hadapan masyarakat Athena pada masa Yunani klasik sebelum masehi. Sedikitnya, catatan sejarah memberikan gambaran umum tentang perkembangan Demokrasi, dimulai dari beribu tahun lalu hingga kini terdapat 550 definisi demokrasi. Kesimpulan sementara memberikan gambaran singkat, bahwa demokrasi merupakan solusi bagi keterlibatan rakyat terhadap prosesi di tiap-tiap keputusan penting suatu Negara.

Di mana keputusan itu merujuk pada kepentingan dan kebutuhan mayoritas penduduk suatu Negara. Meskipun merumpun pada sistem yang sama, namun penerapan demokrasi sendiri berbeda di setiap Negara. Indonesia, dengan kultur dan segala bentuk kesatuannya memiliki perbedaan praktik demokrasi dengan Negara lain yang juga menganut sistem yang sama. dengan asumsi tersebut setidaknya diperlukan persamaan persepsi terkait demokrasi itu sendiri, konsep dan sitem yang seharusnya berlaku sudah pada jalur yang benar, pengaturan terkait kehidupan berbangsa secara jelas termaktup dalam symposium demokrasi, hanya saja pada titian praktik bisa saja terjadi distorsi.

Bentuk upaya yang melahirkan makna demokrasi sebagai kebebasan terbuka, transparansi tanpa batas, juga mengejawantahkan asumsi kekuasaan rakyat dengan melimpahkan segala indikasi keputusan melalui suara rakyat, merupakan pemiskinan rasionalitas yang dibawa dari Barat, dan ironinya hal tersebut tidak terjadi di Barat sendiri. Sebagai contoh, dalam memilih pemimpin di dalam Negara demokrasi, rakyat dilibatkan secara keseluruhan, di Amerika Serikat sendiri sistem seperti tidak sepenuhnya digunakan, akan tetapi menggunakan kemenangan distrik atau Negara bagian. Sehingga yang terjadi adalah pengambilan kepurusan secara kolektif distrik, bukan kolektif universal.

Polarisasi dan Krisis Demokrasi

Sejak paragraf pertama tulisan ini setidaknya telah menyinggung adanya polarisasi terhadap konsepsi demokrasi, di mana demokrasi tidak berjalan sebagaimana teorinya, demokrasi seolah menjadi sebuah agunan sistem ambigu, tersimpan dalam kotak kaca yang hanya bisa di lihat, tanpa disentuh.

Dalam konteks masyarakat informative dewasa kini, telaah komunikasi menunjukkan adanya kebebasan pers, merujuk pada media, kemudian menghasilkan consensus bahwa terjadi erosi pemaknaan demokrasi itu sendiri. Mengutip Manuel Chastell sebagaimana diurai kembali oleh Adeline dalam bunga rampai “Politik Informasional”, ia menyepakati bahwa media menjadi penghubung antara warga dan negara, lebih parah warga negara atau rakyat hanya menjadi ajang objek mobilisasi saat pemilihan umum.

Ini kemudian yang disebut Chastell sebagai perusak makna demokrasi. Merujuk pandangan Ramlan Surbakti dalam buku “Memahami Ilmu Politik (2010)”, ia mendefinisikan demokrasi sebagai sistem politik yang memungkinkan terjadinya konsensus mayoritas terhadap kesepemahaman, terjadinya kebebasan pandangan antar sub, perbedaan pandangan bahkan persaingan sekalipun.

Namun demikian, demokrasi tidak menutup adanya keputusan sepihak oleh elitis yang berbasis sistem keterwakilan kewenangan. Asumsi yang demikian menimbulkan ambiguitas di kalangan pelasku demokrasi. Riuh rendah suara menyoroti apakah demokrasi memihak kebebasan terbuka, atau hanya sekedar transparan elitis. Jika menapak pada realitas di Indonesia, demokrasi tidak sepenuhnya berjalan sesuai amanat demos, demokrasi hanya sebuah bentuk bayang-bayang sistem politik Negara yang merujuk pada tatapan semu, tidak sepenuhnya mengakui kebenaran berasal dari dominasi rakyat, namun kebenaran yang bersumber dari elit politik tertentu.

Sehingga rakyat hanya terlibat dalam dialektika Pemilihan Umum (Pemilu). Selebihnya, rakyat hanya bagian kecil dari sistem pengelolaan negara oleh penyelenggara negara. Hasilnya, Indonesia memiliki pemerintah, bukan pemerintahan, dan begitulah polarisasi berlaku.[]


Leave a Reply