Literasi Siber Pejabat Publik


Benar, bahwa hadirnya teknologi informasi secara signifikan membantu kemudahan komunikasi antar individu, tidak terkecuali memudahkan hubungan emosional yang terjalin antara pejabat publik dan warga. Kondisi tersebut tidak lain karena kecenderungan manusia yang tidak dapat terpisah dari manusia lain, sehingga hubungan sosial menjadi kebutuhan paling dasar. Media sosial (Medsos), kemudian hari menjadi pemuas atas kebutuhan tersebut.

Sekali lagi, ini persoalan zoon politicon –manusia tidak dapat hidup tanpa manusia lain sebagai lawan interaksi—. Merujuk pada tafsiran Aristoteles, masyarakat terbangun dengan baik hanya dengan satu cara, yakni membentuk masyarakat itu sendiri. Artinya, individu-individu menciptakan kesadaran kolektif, untuk kemungkinan saling memahami kebutuhan satu sama lain, memiliki ketersalingan, dan kemudian kesadaran itu mencipta masyarakat.

Hari ini, tentu yang disebut masyarakat bukan sekumpulan individu-individu yang tinggal di tempat yang sama, atau berwilayah administrasi sama. Masyarakat, di era siber ini adalah sekelompok individu-individu yang heterogen, tanpa harus berada satu wilayah administratif. Mereka adalah homo homini socius, yang hidup dan berinteraksi secara berjaringan, terakomodasi melalui Siber.

Semenjak bergulirnya masyarakat baru, di mana hubungan antar individu di dominasi oleh penggunaan media sosial, maka sosialitas masyarakat turut serta berkurang, hubungan yang terbiasa erat melalui pertemuan muka, menjadi hilang. Interaksi beralih secara maya, melalui jaringan Internet, memang lebih leluasa dan akses tanpa hambatan, tetapi membawa dampak berupa tidak saling kenal secara impersonal, pribadi dan formal.

Ini juga, yang kemudian melahirkan apatisme tatap muka, terutama di kalangan pejabat publik, di mana seharusnya tatap muka menjadi rutinitas untuk menyerap aspirasi dan ekspresi publiknya. Satu sisi memang Internet membawa kabar baik, di mana pejabat publik dapat leluasa berkerumun dengan warga, tanpa ada penghalang protokoleristik.

Sebaliknya, warga dapat pula menumpahkan ide, gagasan, bahkan keluhan sekalipun, secara langsung melalui media sosial tanpa harus bertatap muka birokratis. Hanya saja, ketika kehidupan yang serba menghilangkan formalitas tersebut tidak bersanding dengan sistem kolektif –etika dan estetika, termasuk moral judgement— bermedia sosial, maka substansi mahluk sosial tersebut akan hilang.

Apa pasal? Karena setiap orang berkuasa atas informasi yang hilir mudik. Di masa seperti ini lah kemudian akan lahir generasi tanpa empati dan simpati sekaligus. Menghujat menjadi tindakan yang sangat mudah dilakukan, caci maki, penghinaan, hingga pencernaan informasi tanpa proses tabayyun (klarifikasi kebenaran informasi).

Bermedia Sosial Secara Bijak

Dengan interaktivitas media sosial, jaringan Internet bisa digunakan untuk mendisplay produk (mempromosikan layanan publik). Namun zaman sekarang semuanya sudah sangat berbeda. Medsos sekarang sudah sangat interaktif. Sehingga kebutuhan informasi warga dapat dipenuhi secara langsung. Media sosial yang menawarkan aspek interaktivitas akan bernilai lebih dibandingkan dengan media yang kurang menekankan aspek interativitasnya.

Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave (1980), memberikan gambaran apa itu realitas komunikasi era siber. Siber, baginya sebuah definisi yang muncul jauh sebelum fenomena Internet lahir. Toffler menyatakan bahwa eksistensi teknologi merupakan fasilitas umum yang muncul pada akhir era sosial-kapitalis, di mana kehadiran teknologi bisa mengubah pola-pola kerja dan juga komunikasi. Setiap pekerja sekarang bisa melakukan semua pekerjaannya di rumah sehingga Interaksi mereka dengan anggota keluarga dan tetangga menjadi lebih intens; ini yang disebutnya dengan ‘selective substitution of communication for transportation’ (1980: 382).

Hanya saja, ketika cerminan teknologi informasi yang diuraikan Toffler di atas benar-benar diaplikasikan oleh pejabat publik, maka hasilnya adalah kesalah-tafsiran. Mengingat secara etis, pejabat publik harus berhati-hati dalam memproduksi pesan, karena setiap yang keluar dari lisannya merupakan presentasi institusional, di mana hal tersebut memerlukan kebenaran dalam setiap informasi.

Jika kondisi tersebut berlarut, maka kemultian tafsir yang menghasilkan kesalah-pahaman akan muncul ke permukaan. Dalam komunitas virtual, model tersebut dinamakan asynchronous model. Karena pengirim dan penerima pesan tidak berada pada waktu dan tempat yang sama, sehingga memerlukan waktu yang berbeda untuk klarifikasi, terlebih distribusi pesan melalui media sosial akan secara langsung di ketahui publik secara umum, sehingga tidak etis ketika pejabat publik terlibat debat kusir dalam mengatasi kesalahan tafsir melalui media sosial.

Untuk alasan tersebut, penting kiranya pejabat publik memahami seluk beluk media sosial, tidak sebatas pada penggunaannya. Tetapi lebih daripada itu, semisal mempelajari konteks etis dan estetis. Memang, bermedia sosial tidak mengharuskan penggunanya untuk terdikte melalui aturan-aturan, hanya saja bagi pejabat publik, apapun yang ia kerjakan akan menjadi perhatian menarik bagi warga nya. Sehingga, memahami etika dan estetika bermedia sosial, adalah keniscayaan.[]


Leave a Reply