Candu Teknologi, Berbahaya kah?


Benar bahwa kemajuan teknologi membawa dampak baik, memudahkan komunikasi tanpa batasan ruang dan waktu. Hanya saja, ketika kemajuan teknologi tidak berimbang dengan kematangan perilaku dan pikir, maka teknologi memunculkan keresahan bagi penggunanya. Satu bahasan menarik yang akhir-akhir ini muncul, adalah Nomophobia, kosakata Inggris no-mobile-phone phobia.

Merupakan keadaan suatu sindrom ketakutan jika tidak mempunyai telepon genggam, atau tidak memiliki akses atas telephon genggam. Nomophobia untuk pertama kalinya muncul dalam suatu penelitian tahun 2010 di Inggris. Peneliti permulaan yang memiliki ketertarikan adalah mereka yang tergabung dalam YouGov. Sekumpulan peneliti melakukan penelitian tentang kegelisahan yang dialami di antara 2.163 pengguna telepon genggam.

Studi tersebut menemukan beberapa kecenderungan tidak nyaman, bahkan merasa takut, ketakutan bisa berupa kekhawatiran jika saja ada yang menghubungi, atau jika ada yang mengakses telepon genggam tanpa sepengetahuan pemilik. Kondisi ini merupakan intimidasi awal terhadap perasaan, sehingga ketika terlalu sering akan mengakibatkan ketakutan yang berlebihan.

Masih dalam studi tersebut, berdasarkan data empiris menemukan bahwa 58% pria dan 47% wanita pengguna telepon genggam yang disurvei cenderung merasa tidak nyaman, ketika mereka kehilangan telepon genggam, kehabisan baterai atau pulsa, atau berada di luar jaringan, dan 9% selebihnya merasa stres ketika telepon genggam mereka mati. Separuh di antara mereka mengatakan bahwa mereka gelisah karena tidak dapat berhubungan dengan teman atau keluarga mereka jika mereka tidak menggunakan telepon genggam mereka.

Kegelisahan yang muncul karena tidak adanya akses atas telepon genggam, di rasa kurang tepat jika menggunakan phobia (ketakutan). Tetapi, kondisi tersebut juga tidak baik bagi kesehatan psikologis ketika berlangsung terus menerus. Artinya, diperlukan semacam literasi mental untuk meredakan candu teknologi itu. Salah satu hal paling sederhana, adalah dengan ikut serta dalam interaksi konvensional bersama lingkungan. Lebih banyak membangun komunikasi personal kepada keluarga dan teman.

Mencoba untuk menghindari penggunaan teknologi informasi secara berlebihan, memang sulit, terlebih ketika sudah masuk pada tahapan phobia. Ini memungkinkan terjadi ketika kita tidak punya akses sosial ke lingkungan sekitar. Dengan demikian, kematangan pola pikir diperlukan demi keseimbangan mental berteknologi informasi.

 

Kecanduan Virtual

Salah satu bentuk paling nyata dari kecanduan virtual, adalah hilangnya aktifitas sosial, menjadi penyendiri dan senang dengan dunia siber. Internet, secara pasti tergolong sebagai media yang mampu menjadi sarana penting dalam pemenuhan hak berpendapat dan berekspresi saat ini. Tidak sedikit remaja yang terjebak dalam candu virtual, mulai dari game online, berbelanja melalui online shop, dan candu lainnya.

Kondisi di atas, bagi yang memanfaatkan dengan baik tentu menghasilkan kebaikan pula. Sebaliknya, ketika penggunaanya disalah artikan, maka akan banyak dampak buruk yang menyertainya. Pada Juni 2011, PBB melalui Special Rapporteur bidang Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank William La Rue, penuh semangat mengingatkan negara-negara, “Internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia, memberangus ketidakadilan, dan membantu percepatan pembangunan dan kemajuan manusia, maka memastikan (ketersediaan) akses ke Internet haruslah menjadi prioritas bagi semua negara”.

Di kemudian hari, –dalam bidang keterbukan informasi publik—. Argumentasi La Rue ini tidak serta merta menginginkan dibukanya kran sebesar-besarnya untuk negara menyediakan akses Internet bagi warganya. Ia tetap memiliki kekhawatian bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat di Internet berdampak pada banyak tantangan. Lebih lanjut, menurutnya, kebebasan berekspresi di Internet di banyak negara, kini banyak dihambat dengan cara menerapkan hukum pidana ataupun menciptakan hukum baru yang dirancang untuk dapat mengkriminalkan para pelaku kebebasan berekspresi di Internet.

Jika melihat kekhawatiran tersebut hari ini, tentu sangat banyak sekali alasan untuk kemudian berhati-hati dalam membuka kran Internet. Hanya saja, itu bukan solusi yang baik untuk cita-cita membangun cyber city, smart city. Karena Internet, adalah stelsel utama terbentuknya smart city, di mana salah satu pendukungnya adalah mudahnya akses komunikasi yang ditengarai oleh jaringan Internet.

La Rue memang bukan orang Indonesia, terlebih bukan Sunda, sehingga memandang kebebasan sebagi hal utama. Berbeda dengan kita yang hidup dengan teratur oleh budaya, adat kesopanan serta tindak-tanduk berkomunikasi. Tentu, aturan-aturan yang menertibkan, menentramkan sangat dibutuhkan. Barangkali, tugas tambahan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jawa Barat, adalah dengan memberikan pembelajaran melalui literasi bagi masyarakat.

Untuk itulah, penting bagi kita semua untuk mendapat akses Internet demi kemajuan di banyak bidang, hanya saja, kita juga harus mampu membangun kesadaran etis. Sehingga, Internet tidak saja membuat candu dan berdampak negatif, melainkan membawa serta dampak yang di dominasi kebaikan, kebermanfaatan.


Leave a Reply