Lembar Baru Konflik Golkar


Media dan Politik membincang simbiosis-mutualisme antara stelsel Media dan Politik

Presentasi demokrasi sedang dihelat oleh Partai Golongan Karya (Golkar), menapaki jalan dramatis dalam penentuan legitimasi kepemimpinan, Golkar setidaknya berada di ujung tanduk, mampu meneruskan tradisi sebagai partai dominasi dalam pemilihan umum kepala daerah (Pilkada), atau samasekali tidak mendapat tempat dalam kontestasi kepemimnpinan daerah yang tinggal menghitung hari.

Sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang laksanakan pada Senin (18/5) membawa jalan baru dalam konflik Golkar. Putusan yang memenangkan tuntutan kubu Aburizal Bakrie dinilai membuka ruang lebih lebar untuk menjauhkan Golkar dari rencana kerja politik dalam waktu dekat, yakni keikutsertaan dalam pilkada serentak. Meskipun Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menhukham) mengajukan banding atas putusan tersebut, sangat kecil kemungkinan konflik dapat teratasi secara instan dan akomodatif.

Ruang Konsolidasi Politik

Satu hal penting dalam regenerasi politik adalah pembelajaran politik, pembelajaran tersebut bisa dimulai dari membangun kesadaran moral (moral consciousness) akan hak individu dan hak publik. Dalam regenerasi partai politik, sebagaimana dalam kisruh Golkar, terdapat beberapa hal yang dapat dicermati. Pertama, Golkar dinilai patuh hukum karena mengikuti semua prosedur konstitusional. Sehingga seluruh kader dapat menjalani proses sengketa kepemimpinan dengan basis hukum. Kedua, tidak ada kekuatan mutlak eksekutif, dalam hal ini Kemhukham yang telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) atas legalitas kepengurusan Agung Laksono hasl munas Ancol, Jakarta.

Paling tidak, kondisi tersebut membuktikan bahwa Golkar merupakan partai politik terbuka yang akomodatif. Sudah menjadi kebenaran bersama, bahwa regenerasi adalah cara terbaik untuk mempertahankan kelangsungan organisasi, tidak terkecuali parpol. Selama ini, praktik regenerasi di banyak parpol meredup dan bias oleh kuasa oligarki. Hasilnya, parpol tidak lebih dari korporasi yang mengusung kapitalisme kekuasaan. Untuk itu, presentasi yang sedang ditunjukkan oleh Golkar memberikan gambaran terkait demokratisme parpol.

Karena, jika parpol mengandalkan ketokohan sentralistik, merujuk pada pengakuan sepihak, maka Golkar akan terjebak dalam lingkaran oligarki, maka tawaran logisnya adalah dengan mencermati putusan PTUN, kemudian segera mencari solusi terbaik. Beberapa solusi yang bisa ditawarkan adalah islah, sebagaimana yang ditegaskan oleh tetua partai, Akbar Tandjung.

Persolan krusial yang tidak dapat ditawar adalah pelaksanaan Pilkada yang di depan mata. Fakta ini tidak dapat diabaikan begitu saja, pilkada menjadi ancaman untuk Golkar segera lakukan islah, jika tidak tercapai bisa juga melakukan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Meskipun tawaran terakhir ini sedikit sulit untuk dilaksanakan, mengingat kedua kubu, Agung Laksono dan Aburizal Bakrie, sama-sama mendominasi suara.

Bercermin dari putusan PTUN, setidaknya ada dua hal yang tetap ditegaskan di sini. Pertama, asas praduga rechmatic (praesumptio iustae causa), ini menjelaskan tindakan ataupun keputusan yang diambil sebagai bagian dari kebijakan pejabat tata usaha negara dianggap sah sampai ada pembatalan. Artinya, Kemhukham sebagai pihak yang telah mengeluarkan SK, tidak dapat sertamerta menarik kembali SK tersebut, sehingga ubu yang dilegalkan dalam SK tersebut tetap berlaku.

Kedua, membaca ulang terkait pasal 67 ayat 1 Undang-undang tahun 1986 tentang PTUN, dalam pasal tersebut menjelaskan jika gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara serta tindakan badan atau pejabat TUN yang digugat.

Dual hal pokok ini merefleksikan kerumitan ke depa yang akan dihadapi oleh Golkar, ketika kedua kubu tidak mampu memposisikan diri untuk menghadapi konflik menjelang pilkada serentak. Karena kembali pada putusan PTUN, yang hanya bisa membatalkan putusan kemhukham, bukan untuk mengesahkan munas Golkar di Bali. Ini artinya, kedua kubu sama-sama tidak memiliki legalitas sampai ada kelanjutan persidangan.

Tokoh sentral Golkar yang masih menyerukan perjuangan Golkar, adalah Akbar Tandjung dan Jusuf kalla (JK). Meskipun keduanya tidak lagi intens mempengaruhi Golkar secara instan. Akbar Tandjung menginginkan terjadinya islah antara kedua kubu yang berseteru, hal ini memungkinkan karena islah akan membawa Golkar pada pengakuan tunggal, tidak ada dualisme kepengurusan yang saling mempertontonkan dominasi kekuasaan.

Pihak Agung Laksono dan Aburizal Bakrie dituntut membuka tangan untuk menerima islah. Sehingga konflik tidak berkepanjangan, setidaknya sampai helatan pilkada usai.

Seyogyanya, polemik yang dihadapi oleh Golkar ini bisa saja tidak terjadi jika sejak awal Golkar menggerakkan konsolidasi partai secara internal. Ini berarti penyelesaian Golkar dilaksaakan secara internal, dalam hal ini Mahkamah Partai Golkar (MPG), MPG menjadi satu-satunya badan peradilan yang miliki kewenangan legitim dalam mengakhiri konflik.

Dari alasan tersebut, seharusnya hakim PTUN tidak lagi menerima pelimpahan kasus sebagaimana penolakan PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Barat, karena konflik Golkar bukan bagian dari wewenang PN, tetapi konflik internal Golkar.

Akhirnya, kubu Agung Laksono maupun Aburizal Bakrie tidak dapat menjalankan roda kepengurusan tanpa legalitas dari, juga pengawasan MPG. Kedepan, nasib partai Golkar bergantung pada penerimaan, sikap terbuka kedua belah pihak, juga kejernihan berpikir atas putusan PTUN.


Leave a Reply