Refleksi Korupsi dan Integritas Politik


korupsi-300x277Integritas politik, perbincangan yang telah dimulai sejak awal kemerdekaan Indonesia sebagai kesatuan Negara. Definisi awal integritas bagi kebangsaan adalah walk point yang mendasari bingkai karakter bangsa. Di dalamnya, termasuk para elitis yang menduduki struktur pemerintahan maupun profesional, dan juga politisi. Kualifikasi integritas semakin meruncing menuju penghabisan ketika bangsa ini dilanda multi krisis. Bertaburnya kasus korupsi, macetnya proses legislasi dan juga terpuruknya roda sosialitas kesejahteraan bagi rakyat adalah indikasi bangsa ini kehilangan integritas.

 

Kolaborasi Moral Politik

 

Kolaborasi antara moral dan etika politik menuntut adanya kesimbangan sensifitas politik terhadap isu integritas. Keterpurukan penegakan hukum, ekonomi, hingga gaya kepemimpinan presiden hasil pemilihan umum tahun 2009 yang taksejalan dengan misi kemajuan, seolah berlangsung secara tambal sulam karena lemahnya akurasi moral dan etika para politisi. Isu korupsi menjadi asupan informasi media setiap hari dan terus menerus terulang hingga hari ini. Negara seolah menjadi sekedar simbol formalitas terhadap konsekuensi alamiah untuk memupuk jabatan yang juga formalitas dan posisi strategis bagi kesejahteraan pribadi. Bukan atas landasan kesejahteraan rakyat sebagai konstituen.

Poros utama penyebab terjadinya turbulensi pemerintahan sebagaimana telah disebutkan di atas adalah benih dari ketidak-cakapan pemerintah dalam memberikan arahan tentang pentingnya nilai integritas terhadap pelaku birokrasi, sehingga yang muncul ke wilayah publik adalah ketidak-adilan. Nilai dasar ketidak-adilan akan menjadi alasan utama mengapa gerakan koruptsi membenih subur di negara dengan sstem politik demokrasi.

Belum lagi dengan tambahan gerakan sparatisme yang muncul dikemudian hari. Seolah, terbayang bagi generasi muda bahwa politik yang gemar korups akan melahirkan kekecewaan drastis kemudian berhipotesis sparatis. Satu-satunya alasan kuat adalah mengikisnya kepercayaan masyarakat terhadap elitis. Berbagai asumsi bermunculan yang terfokus pada distorsi pemerataan. Sehingga terjadi pemberontakan di banyak tempat karena tidak berdayanya penegakan hukum, lemahnya perputaran ekonomi serta rumitnya proses birokrasi. Bahkan, korupsi bukan lagi persoalan aib, namun bertransformasi menjadi kecelakaan birokras bagi elitisi.

Jika alasan lain yang muncul adalah birokrasi, apakah di Negara lain tidak ada birokrasi? Jelas jawaban tunggalnya adalah “pasti ada”. Persoalannya yang mebedakan birokrasi Indonesia dengan negara lain adalah integritas. Jika saja Indonesia menerapkan konsep kebutuhan bukan lebih pada konsep formalitas maka semua urusan yang berkaitan dengan birokrasi tentu akan menjadi lebih mudah dan membantu kedewasaan birokrasi Indonesia. Dari semua telaah dasar di atas, secara ekstrim yang terjadi di negeri gemah ripah loh jinawe ini adalah raja-raja kecil yang mendefinisikan korupsi sebagai tindakan taksengaja, atau terjebak dalam lingkar birokrasi endemik.

Di mulai dari ranah paling rendah sekalipun, korupsi melibatkan jabatan terendah setingkat Rukun Tangga (RT), tentu denga simulasi pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Ini yang menjadikan moral etik pemangku kepentingan publik takmemiliki panutan tangguh. Kemudian, dilevel yang lebih tinggi dengan simulasi yang juga lebih besar akan terus terpola korupsi tersebut. Berangkat dari asumsi ranah terendah ini, ranah lain yang sensitif terkait dengan tindakan korupsi akan menjamur dan memerlukan waktu serta konsstensi tinggi meredam itu semua.

Moral politik berperan intim guna mereduksi tindakan korupsi yang terjadi dibanyak ranah. Etika yang seharusnya melekat secara naturalistik terhadap politisi menjadi bias. Maka, satu di antara banyaknya solusi yang seringkali ditawarkan adalah membangun integritas politik. Siapa paling bertanggung-jawab, tentu partai politik sebagai roda produksi politisi. Selebihnya, semisal Non-Profit Organization merupakan menyeimbang hadirnya politis berintegritas, mampu dan mengerti membawa kereta politik di lajur yang semestinya, takcuma seharusnya.

 

Refleksi Pemerintahan Demokratis

 

Dari cuplikan yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas, penyumbang filsafat politik ini memberikan gambaran jelas bahwasannya kekuasaan penuh bukanlah pada pemimpin, namun justru kekuasaan penuh berada di tangan rakyat. dengan argumentasi demikian berarti konsep dasar pemerintahan adalah ketika pemimpin, elit politik dan pemegang kekuasaan terstruktur dalam pemerintahan tunduk dan patuh terhadap rakyatnya. Tidak sebaliknya, menghianati dan menyengsarakan rakyat yang seyogyanya menjadi pengatur bagi para pemimpin.

Indikasi yang mengejutkan bagi rakyat adalah saat elit politik yang hanya beberapa orang mampu memanipulasi kekuasaan dengan melakukan korupsi, kejahatan hukum secara terstruktur dan kondisi tersebut diperparah dengan mengabaikan kekuasaan rakyat. Secara gamblang situasi tersebut sebagai benturan kemiskinan integritas bagi elit politik. Seharusnya, merujuk pada pemikiran Aquinas, begitu juga dengan Aristotelian yang menyeru bahwa sebaik dan sebijak apapun elit politik, baik eksekutif maupun legislatif, tetap saja tidak akan sebaik rakyat yang berjumlah lebih banyak. Kecuali, elit politik bertindak dan menghasilkan keputusan sesuai dengan apa yang diserukan serta menjadi kebutuhan rakyat banyak.

Secara lahiriah, manusia tercipta dengan hak istimewa yakni kebebasan, baik kebebasan yang ditentukan oleh diri sendiri dan kebebasan karena faktor hukum alam. Manusia hidup sejajar dengan manusia lainnya. Sehingga tidak ada manusia yang lebih berhak atas dirinya kecuali dirinya sendiri, begitu juga tidak ada manusia yang berhak atas orang lain. Karena faktor utamanya adalah hak untuk merdeka. Hak, bisa saja bagian dari aturan-aturan dalam kehidupan sosial, di mana antara manusia satu tidak bisa menggunakan hak bebasnya ketika bersinggungan dengan manusia lainnya.

Meskipun demikian, Locke sebagaimana di kutip oleh Schmandt dalam A History of Philosopy (1990) menyebutkan, adanya kebebasan tidak memudahkan individu untuk berlaku sesuka keinginan mereka. Walaupun manusia secara alamiah memiliki kebebasan dan kemerdekaan, tetap saja manusia sebagai makhluk sosial yang bersamanya banyak pula kekurangan, dengan demikian manusia akan tetap membutuhkan manusia lainnya dalam masyarakat politik. Dengan bergabungnya pada masayarakat politik, ada kebutuhan yang terslurkan, semisal rasa tanggung jawab untuk memperhatikan dan diperhatikan, selain itu juga masyarakat politik memungkinkan terjadinya kesatuan yang saling berkaitan.

Karakter politik, dalam kaitan integritas memberikan pemahaman urgen, dari awal Negara ini membentuk sebagai kedautalatan bangsa Soekarno berulang kali menyerukan untuk pembentukan sebuah karakter bangsa, karakter bangsa tentu terbentuk ketika setiap individu memiliki karakter yang sama. Sehingga karakter akan menentukan identitas bangsa. Sebaliknya, politisi memiliki kewajiban untuk membentuk karakter melalui penguatan integritas demi tercapainya kondisi pemerintahan yang pro-rakyat. Bukan menjadi negara Koruptor!


4 responses to “Refleksi Korupsi dan Integritas Politik”

Leave a Reply